Selasa, 30 Juni 2015

Kimia Medisinal Antikanker



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kanker
a.      Pengertian Kanker
Kanker atau karsinoma (Yunani, Karkinos = kepiting) adalah pembentukan jaringaan baru yang abnormal dan bersifat ganas (maligne). Suatu kelompok sel dengan mendadak menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus menerus (proliferasi).
                        Akibatnya adalah pembengkakan atau benjolan yang disebut tumor atau neoplasma (Latin,  neo = baru, plasma = bentukan). Sel-sel kanker ini menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya. Tumor primer setempat itu sering kali menyebarkan sel-selnya melalui saaluran darah dan limfe ke tempat lain di tubuh (metastese), untuk selanjutnya berkembang menjadi tumor sekunder. Gejala-gejala umum utama adalah nyeri yang sangat hebat, penurunan berat badan mendadak, kepenatan total (cachexia) dan berkeringat malam.
                        Jenis-jenis kanker yang dikenal banyak sekali dan hampir semua organ dapat dihinggapi penyakit ganas ini, termasuk limfe, darah, sumsum, dan otak. Kanker merupakan penyebab kematian kedua di dunia setelah penyakit jantung dan pembuluh. Berkat penyuluhan besar-besaran di dasawarsa lalu mengenai peranan makanan sehat, di beberapa negara Barat, kanker telah menempatkan urutan nomor satu menggantikan penyakit PJP.
                        Bentuk-bentuk tumor dinamakan menurut jaringan tempat neoplasma berasal, yaitu:
·         Adenoma : benjolan maligne pada kelenjar, misalnya pada prostat dan mamma.
·         Limfoma : kanker pada kelenjar limfe, misalnya penyakit (non-) Hodgin dan penyakit burkitt yang berciri benjolan rahang.
·         Sarkoma : neoplasma ganas yang berasal pembuluh darah, jaringan ikat, otot atau tulang, misalnya sarkoma kaposi, suatu tumor di bawah kulit tungkai bawah dengan bercak-bercak merah.
·         Leukimia : kanker darah yang berhubungan dengan produksi leukosit yang abnormal tinggi dan eritrosit sangat berkurang.
·         Myeloma: kanker pada sumsum tulang, misalnya penyakit kahler (multiple myeloma) dengan pertumbuhan liar sel-sel plasma di sumsum. Sel plasma termasuk leukosit dan membentuk antibodies.
·         Melanoma : neuplasma kulit lainnya yang dapat menyebar dengan pesat. Neuplasma kulit lainnya yang dapat terjadi adalah dari sel basal dan sel “plaveisel” (squamous cell). Berlainan dengan melanoma, kedua jenis kanker terakhir dapat disembuhkan.

b.      Penyebab Kanker
Riset pada dasawarsa terakhir mengungkapkan bahwa kanker disebabkan oleh terganggunya siklus sel akibat mutasi dari gen-gen yang mengatur pertumbuhan. Pada umumnya dibutuhkan minimal dua jenis mutasi untuk membentuk pertumbuhan sel ganas. Sel-sel tumor berdaya menjauhkan diri dari regulasi pertumbuhan sel normal. Hal ini dicapai dengan jalan perubahan genetis, sehingga sel tumor menjadi mandiri dari regulasi tersebut. Oleh karena itu, kanker termasuk penyakit yang diakibatkan defek pada gen.
Defek pada gen dapat diakibatkan oleh banyak sebab, yaitu:
·         Radiasi dari X-ray, gamma-ray, UV-C (260 nm) yang diabsorbsi kuat oleh DNA;
·         Zat-zat kimia dari lingkungan, seperti polusi, asap rokok;
·         Radikal bebas yang sangat reaktif (O2, H2O2,OH-) dari pernapasan biasa dan proses-proses faal lainnya.
·         Sitostatika, obat-obat unuk kemoterapi kanker, yang sendirinya memiliki risiko besar untuk menimbulkan kanker baru, seringkali leukimia.
Proses timbulnya kanker. Tumor ganas terjadi melalui beberapa tingkat, yaitu :
1.      Fase inisiasi : DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikal bebas). Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelainan pada kromosomnya. Kerusakan DNA diturunkan kepada anak-anak sel dan seterusnya.
2.      Fase promosi : zat karsinogen tambahan (co-carcinogens) diperlukan sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel. Dengan demikian sel-sel rusak menjadi ganas.
3.      Fase progresi : gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitose dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. Tumor menjadi manifes.

Sel-sel tumor dapat menggandakan gen-gennya sampai 10.000 kali lebih cepat daripada sel normal. Oleh karena itu, berbagai mutasi dapat berlangsung serentak, juga akibat kekhilafan genetis spontan. Sel membelah dalam beberapa fase selama siklusnya, yang rata-rata memakan waktu sekitar 20 jam. Terbentuknya sel kanker dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1.      Faktor lingkungan
Menurut perkiraan sekitar 80 % dari semua kanker yang menerpa manusia diakibatkan oleh pengaruh lingkungan dalam arti seluas-luasnya, yakni pengaruh zat-zat karsinogen dari luar (eksogen). Faktor-faktor eksogen penting seperti, pengotoran udara, sinar ultraviolet dari matahari, radiasi terlalu sering dengan dosis tinggi oleh sinar-sinar ionisasi, tembakau pada rokok, dan makanan yang kaya akan lemak hewan dan miskin serat nabati.
2.      Faktor keturunan
3.      Zat-zat karsinogen
Adalah zat-zat yang dapat mengakibatkan tumor melalui kontak dengannya (lokal, inhalasi) atau secara oral (usus).


c.       Penanganan pada Penderita Kanker
Ada berbagai cara penanganan kanker, seperti pembedahan, penyinaran, kemoterapi, hormon terapi, imunoterapi, dan hipertermi. Sering kali cara-cara ini dikombinasikan, yakni penanganan secara lokal dan sistemis pada saat dideteksi penyakit. Pembedahan dan radiasi dapat mencapai penyembuhan lengkap (kuratif) bila dilakukan sedini mungkin dan bila belum terjadi metastasis.
1.    Pembedahan, untuk mengeluarkan secara radikal hanya dapat dilakukan pada tumor tunggal yang belum menyebar. Risikonya adalah penyebaran sel-sel tumor ke jaringan dan pembuluh sekitarnya akibat pemotongan.
2.    Radiasi, dengan sinar radioaktif (radioterapi) yang membakar dan memusnahkan sel-sel tumor dan dapat bersifat kuratif ataupun paliatif.
3.    Kemoterapi, yakni pengobatan dengan sitostatika, juga bersama dengan radioterapi.
4.    Terapi hormon, hormon dan antihormon tertentu digunakan pada kanker yang pertumbuhannya tergantung dari hormon.
5.    Imunoterapi, pengobaatan gangguan maligne dengan zat-zat stimulator sistem imun, seperti interferon dan interleukine-2.
6.    Hipertermi, penanganan tumor dengan kalor sebagai terapi tambahan untuk memperkuat efek radiasi.
7.    Genterapi, inaktivasi dari gen-gen tertentu yang berperan penting pada pertumbuhan liar dari tumor.
8.    Terapi sel batang, masih berada dalam tingkat eksperimentil.
9.    Terapi komplementer, yakni penanganan untuk memusnahkan sel ganas dan metastasis mikroskopis yang belum dideteksi dengan metode lazim.

B.  Sitostatika
Sitostatika atau onkolitica (Yunani, kytos = sel, statis = terhenti, ongkos = benjolan, lysis = melarutkan) adalah zat-zat yang dapat menghentikan pertumbuhan pesat dari sel-sel ganas (maligne).
Prinsipnya adalah penggunaan obat-obat dengan langsung merusak DNA (dan RNA) sel. Senyawa-senyawa ini mematikan sel-sel dengan menstimulir apoptosis. Dosis dan jadwal kemoterapi terbatas pada daya tahan jaringan normal, terutama jaringan yang berkembang pesat seperti sumsum tulang dan mukosa saluran cerna. Juga tergantung dari farmakokinetika obat bersangkutan dan afinitasnya terhadap jaringan tertentu. Mekanisme efek terapeutik dari obat-obat ini adalah mencari dan memanfaatkan perbedaan antara sel normal dan sel kanker, khususnya diarahkan pada defek-defek genetik dari sel kanker.
Karena kebanyakan tumor menimbulkan resistensi pesat terhadap obat tunggal, maka dikembangkan prinsip kemoterapeutika intermiten dengan multi-drug, khususnya obat dengan mekanisme daya kerja yang berlainan tanpa toksisitas yang overlapping.
Antikanker merupakan obat yang indeks terapinya sempit. Semuanya dapat menyebabkan efek toksik berat, yang mungkin sampai menyebabkan kematian secara langsung maupun tidak langsung. Karena antikanker umunya bekerja pada sel yang sedang aktif, maka efek sampingnya juga terutama mengenal jaringan dengan proliferasi tinggi yaitu : sistem hemopoetik dan gastrointestinal.
Sebagian besar antikanker memperlihatkan sifat teratogenik pada binatang. Walaupun bahayanya pada manusia belum terbukti, dianjurkan agar sedapatnya tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama. Juga perlu dipertimbangkan kemungkinan efek toksik pada janin yaitu pada sistem hemopoetik, hati dan ginjal.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat anti tumor pada umumnya dibagi dalam beberapa golongan sebagai berikut :
a.    Zat alkilasi
b.    Antimetabolit
c.    Antimitotika
d.   Antibiotika
e.    Imunomodulansia
f.     Hormon dan antihormon
g.    Obat lainnya
h.    Obat alternatif

C.  Anti Kanker Produk Alam
Antimitotika yakni zat yang berguna untuk menghindari pembelahan sel pada metafase  (tingkat kedua dari mitosis), jadi merintangi pembelahan inti. Antimitotika mencegah masuknya belahan kromosom ke dalam anak inti. Obat-obat yang kini digunakan adalah hasil tumbuhan, yakni alkaloida Vinca (vinblastin, vinkristin, dan derivat semi sintetiknya vindesin), podofilin (serta derivat-derivatnya etoposida dan tenoposida) dan obat-obat terbaru dari kelompok taxoida (paclitaxel, docetaxel).
Alkaloida vinca, seperti vinblastin dan vinkristin, diisolosi dari tanaman Vinca rosea Linn. Mekanisme kerjanya sebagai antikanker adalah dengan mengikat tubuli dan menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada kumparan mitosis sehingga metafase berhenti. Alkaloida vinca bekerja secara khas  pada  fase M. Vinkristin mempunyai aktivitas  lebih besar dibanding vinblastin karena mempunyai kemampuan penetrasi ke dalam sel kanker yang lebih baik.
a.    Vinblastin






Vinblastin juga efektif untuk pengobatan karsinoma payudara, kariokarsinoma, kanker kepala dan leher, neuroblastoma dan beberapa limfoma. Biasanya sebagai terapi kombinasi dengan bleomisin dan cisplatin, atau dengan doksorubisin dan/atau prednisolon.
Sifat fisikokimia vinblastin yaitu serbuk hablur atau amorf, putih atau agak kuning, tidak berbau, dan higroskopik. Kelarutannya yaitu mudah larut dalam air. pH vinblastin antara 3,5 dan 5,0. Wadah dan penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya, dalam lemari pembeku.
Efek sampingnya terutama berdasarkan myelosupresi kuat, terutama leukopenia yang biasanya hilang setelah satu minggu. Lagi pula rasa lelah, mual, muntah-muntah, demam, lebih jarang rontok rambut, dan radang saraf (neuritis) dengan kesemutan jari-jari tangan. Dosis i.v. 0,1-0,2 mg/kg.
b.   Vinkristin





Pada garis besarnya sama spekrum kerja dan penggunaannya dengan vinblastin, antara kedua obat tidak terdapat resistensi-silang lengkap. Pada leukimia akut obat ini dikombinasi dengan prednison. Vinkristin juga efektif untuk pengobatan beberapa leukimia, limfoma, sarkoma, dan karsinoma. Obat  ini juga banyak digunakan pada tumor anak-anak.
Sifat fisikokimia vinkristin yaitu serbuk hablur atau amorf, putih hingga agak kuning, tidak berbau, dan higroskopik. Kelarutannya yaitu mudah larut dalam air, larut dalam metanol, dan sukar larut dalam etanol. pH vinkristin antara 3,5 dan 4,5. Wadah dan penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya, dalam lemari pendingin.
Efek sampingnya sama dengan vinblastin, tetapi myelosupresi lebih ringan, sedangkan neurotoksisitasnya  lebih besar. Dosis : 1x seminggu 0,05-0,15 mg/kg.




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Kanker adalah suatu penyakit sel dengan ciri gangguan  atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler.
2.      Faktor-faktor penyebab kanker diantaranya faktor lingkungan, faktor keturunan, dan zat-zat karsinogenik.
3.      Penanganan pada penderita kanker umumnya dilakukan pembedahan, kemoterapi, ataupun radioterapi.
4.      Sitostatika adalah zat-zat yang dapat menghentikan pertumbuhan pesat dari sel-sel ganas (maligne).
5.      Sitostatika yang berasal dari alam misalnya vinblastin dan vinkristin yang diperoleh dari tanaman Vinca rosea.
6.      Vinkristin mempunyai aktivitas  lebih besar dibanding vinblastin karena mempunyai kemampuan penetrasi ke dalam sel kanker yang lebih baik.

B.     Saran
Dengan adanya makalah sederhana ini, penulis mengharapkan agar para pembaca dapat memahami materi Kimia Medisinal ini dengan mudah. Saran dari penulis agar para pembaca dapat menguasai materi singkat dalam makalah ini dengan baik, kemudian dilanjutkan dengan pelatihan soal dan mencari literatur lain yang berhubungan agar semakin menguasai materi.

Sabtu, 27 Juni 2015

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EFEK SEDATIV



PERCOBAAN V
EFEK SEDATIF

I.         TUJUAN :
                        Untuk mempelajari pengaruh obat penekan susunan syaraf pusat.

II.      DASAR TEORI :
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedatif (Tjay, 2002).
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995). 
Pada penilaian kualitatif dari obat tidur, perlu diperhatikan faktor-faktor kinetik berikut: 
-          lama kerjanya obat dan berapa lama tinggal di dalam tubuh, 
-          pengaruhnya pada kegiatan esok hari, 
-          kecepatan mulai bekerjanya, 
-          bahaya timbulnya ketergantungan, 
-          efek "rebound” insomnia, 
-          pengaruhnya terhadap kualitas tidur, 
-          interaksi dengan otot-otot lain, 
-          toksisitas, terutama pada dosis berlebihan
(Tjay, 2002).
Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot (Djamhuri, 1995). 
Hipnotika dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu benzodiazepin, contohnya: flurazepam, lorazepam, temazepam, triazolam; barbiturat, contohnya: fenobarbital, tiopental, butobarbital; hipnotik sedatif lain, contohnya: kloralhidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, meprobamat; dan alkohol (Ganiswarna dkk, 1995). 
Efek samping umum hipnotika mirip dengan efek samping morfin, yaitu: 
a.       depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi. Sifat ini paling ringan pada flurazepam dan zat-zat benzodiazepin lainnya, demikian pula pada kloralhidrat dan paraldehida; 
b.      tekanan darah menurun, terutama oleh barbiturat; 
c.       sembelit pada penggunaan lama, terutama barbiturat; 
d.      "hang over”, yaitu efek sisa pada keesokan harinya berupa mual, perasaan ringan di kepala dan termangu. 
Hal ini disebabkan karena banyak hipnotika bekerja panjang (plasma-t½-nya panjang), termasuk juga zat-zat benzodiazepin dan barbiturat yang disebut short-acting. Kebanyakan obat tidur bersifat lipofil, mudah melarut dan berkumulasi di jaringan lemak (Tjay, 2002).
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepin memiliki daya kerja yaitu khasiat anksiolitis, sedatif hipnotis, antikonvulsif dan daya relaksasi otot. Keuntungan obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hampir tidak merintangi tidur. Dulu, obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay, 2002). 
Efek utama barbiturat adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesia, koma sampai dengan kematian. Efek hipnotiknya dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Fase tidur REM dipersingkat. Barbiturat sedikit menyebabkan sikap masa bodoh terhadap rangsangan luar (Ganiswarna dkk, 1995). 

Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian obat barbiturat yang hampir menyebabkan tidur, dapat meningkatkan 20% ambang nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (raba, vibrasi dan sebagainya) tidak dipengaruhi. Pada beberapa individu dan dalam keadaan tertentu, misalnya adanya rasa nyeri, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan (Ganiswarna dkk, 1995).



























III.   ALAT DAN BAHAN :
a.       Alat :
-          Keranjang
-          Spuit 1 ml
-          Stopwatch
-          Rotarod (batang berputar)

b.      Bahan :
-          CTM
-          Diazepam
-          Hewan uji : Mencit
























IV.   CARA KERJA :
MENCIT
 

-          1 kelompok besar dibagi menjadi 3 kelompok kecil, masing-masing mendapatkan 3 ekor mencit
-          Sebelum perlakuan mencit diletakkan terlebih dahulu di atas rotarod selama 10 menit untuk adaptasi
-          Hewan uji coba pada kelompok 1 tanpa obat, kelompok 2 diberi CTM secara P.O, dan kelompok 3 diberi diazepam secara P.O
-          Pada menit-menit ke-10, 15, 25, 40, dan 60mencit diletakkan di atas rotarod selama 2 menit
-          Catat berapa kali mencit terjatuh dari rotarod
HASIL
 
 

















V.      HASIL PRAKTIKUM :


PERLAKUAN
Tanpa Obat
CTM (p.o)
Diazepam (p.o)
Waktu
10
15
25
40
60
10
15
25
40
60
10
15
25
40
60
I
2
1
0
0
0
0,6
5
3
3
3
4
3,6
8
7
4
6
8
6,6
II
0
0
0
0
0
0
2
1
1
2
3
1,8
8
5
3
3
3
4,4
III
3
7
9
7
5
6,2
5
4
3
6
7
5
12
6
9
2
2
6,2


Grafik 1. Perlakuan tanpa obat

Grafik 2. Perlakuan dengan CTM
Grafik 3. Perlakuan dengan Diazepam

Langkah-langkah Pengujian

1.      Tabel Penolong

X1
X2
X3
X12
X22
X32

0,6
3,6
6,6
0,36
12,96
43,56
0
1,8
4,4
0
3,24
19,36
6,2
5
6,2
38,44
25
38,44

Tc
6,8
10,4
17,2



(Ʃx)2 = 34,4
Nc
3
3
3
N = 9
Ʃ kuadrat



38,8
41,2
101,36
Ʃ(x2)= 181,36

SST =
=  -
   =  
   =  
   =
   =
   = 146,25

SSE = Ʃ () – Ʃ
 = 181,36 –
 = 181,36 – 150,68
 = 30,68

SS Total = SST + SSE
 = 146,25 + 30,68
 = 176,93


2.      Tabel ANNOVA

Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah (1)/(2)
Antar perlakuan

SST= 146,25
dk1= k-1
       = 3-1
       = 2
MSTR = SST/dk 1
            =
            = 73,125
          
Kesalahan
(dalam perlakuan)
SSE= 30,68
dk2= N-k
       = 9-3
       = 6
MSE   = SSE/dk2
           =
           =  5,114
SS Total
176,93




F hitung =
               =
= 14,29

F tabel pada α = 0,05 dk1 = 2 dan dk2 = 9 adalah
F hitung (14,29) > F tabel (5,14)
Kesimpulan : Ho ditolak
Ada perbedaan yang nyata antara perlakuan tanpa obat, ctm dan diazepam













VI.   PEMBAHASAN :
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
Pada praktikum kali ini kita akan menggunakan obat CTM dan Diazepam. Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organic (propilen glikol, sodium benzoat) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6-6,9. Injeksi secra IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
Farmakokinetik pada diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam lebih besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.
Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.
Kelompok 1 tanpa perlakuan obat, mencit pertama pada menit ke-10 dan ke-15 ada reaksi pada mencit yaitu jatuhnya dari alat rotarod, sedangkan pada mencit kedua sama sekali tidak ada reaksinya itu dikarenakan bobot mencit kedua terlalu ringan, lalu pada mencit ketiga itu ada reaksi dan jatuhnya paling banyak dari mencit pertama dikarenakan bobot mencit ketiga itu terlalu berat.
Kelompok 2 dengan obat CTM secara per oral, mencit pertama pada menit ke-10 itu mengalami penurunan lama-kelamaan akan mengalami kenaikan pada menit ke-60. Itu juga berlaku pada mencit kedua dan ketiga. Pada kelompok ketiga dengan obat diazepam secara per oral, mencit pertama pada menit ke-15 akan mengalami penurunan lalu padamenit ke-40 dan ke-60 akan mengalami kenaikan. Jadi disini antara obat CTM dan diazepam yang mempunyai efek sedative yang kuat yaitu diazepam.
































VII.     KESIMPULAN :
Pada paktikum kali ini kita dapat menyimpulkan sebagai berikut diantaranya yaitu :
1.      Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
2.      Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh obat penekan susunan syaraf pusat.
3.      Dari data pada kelompok di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian antara obat CTM dan diazepam itu efek yang paling kuat sedatifnya yaitu diazepam.
4.      Dari data ANNOVA, hasil yang diperoleh yaitu F hitung (14,29) > F tabel (5,14), Ho ditolak artinya ada perbedaan yang nyata antara perlakuan tanpa obat, ctm dan diazepam





















DAFTAR PUSTAKA
Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan Kedua. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.
Djamhuri, Agus., 1995, Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di Klinik dan Perawatan, Edisi 1, Cetakan Ketiga, Hipokrates, Jakarta.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.


























IX.   LAMPIRAN :